Tuesday 18 June 2013

Sekilas Tentang Minahasa



Sekilas Tentang Minahasa

Minahasa (dahulu disebut Tanah Malesung) adalah kawasan semenanjung yang berada di provinsi Sulawesi Utara, Indonesia. Kawasan ini terletak di bagian timur laut pulau Sulawesi. Minahasa juga terkenal akan tanahnya yang subur yang menjadi rumah tinggal untuk berbagai variasi tanaman dan binatang, darat maupun laut. Terdapat berbagai tumbuhan seperti kelapa dan kebun-kebun cengkeh, dan juga berbagai variasi buah-buahan dan sayuran. Fauna Sulawesi Utara mencakup antara lain binatang langka seperti burung Maleo, Kuskus, Babirusa, Anoa dan Tangkasi (Tarsius Spectrum).

Sebutan "Minahasa" sebenarnya berasal dari kata, Mina yang berarti telah diadakan/telah terjadi dan Asa/Esa yang berarti satu, jadi Minahasa berarti telah diadakan persatuan atau mereka yang telah bersatu. ketika peristiwa persatuan diadakan disebut "Mahasa" yang berarti bersatu. Mahasa pertama diadakan di Watu Pinawetengan untuk pembagian wilayah pemukiman, Mahasa kedua diadakan untuk melawan ekspansi kerajaan bolaang-mongondow, Mahasa ketiga dilakukan untuk menyelesaikan pertikaian antara Walak Kakaskasen yang berkedudukan diLotta(kakaskasen, Lotta dan Tateli) dengan Bantik, yang kesemuanya berasal dari satu garis keturunan Toar-Lumimuut.

Pemerintahan Minahasa

Pemerintahan kerajaan di Sulawesi Utara berkembang menjadi kerajaan besar yang memiliki pengaruh luas ke luar Sulawesi atau ke Maluku. Pada 670, para pemimpin suku-suku yang berbeda, yang semua berbicara bahasa yang berbeda, bertemu dengan sebuah batu yang dikenal sebagai Watu Pinawetengan. Di sana mereka mendirikan sebuah komunitas negara merdeka, yang akan membentuk satu unit dan tetap bersama dan akan melawan setiap musuh luar jika mereka diserang. Bagian anak Suku Minahasa yang mengembangkan pemerintahannya sehingga memiliki pengaruh luas adalah anak suku Tonsea pada abad 13, yang pengaruhnya sampai ke Bolaang Mongondow dan daerah lainnya. Kemudian keturunan campuran anak suku Pasan Ponosakan dan Tombulu yang membangun pemerintahan kerajaan dan terpisah dari ke empat suku lainnya di Minahasa. Baca tulisan David DS Lumoindong mengenai Kerajaan di Sulawesi Utara.

Etimology Minahasa

Minahasa secara etimologi berasal dari kata Mina-Esa (Minaesa) atau Maesa yang berarti jadi satu atau menyatukan, maksudnya harapan untuk menyatukan berbagai kelompok sub-etnik Minahasa yang terdiri dari Tontemboan, Tombulu, Tonsea, Tolour (Tondano), Tonsawang, Ponosakan, Pasan, dan Bantik.

Nama "Minahasa" sendiri baru digunakan belakangan. "Minahasa" umumnya diartikan "telah menjadi satu". Palar mencatat, berdasarkan beberapa dokumen sejarah disebut bahwa pertama kali yang menggunakan kata "minahasa" itu adalah J.D. Schierstein, Residen Manado, dalam laporannya kepada Gubernur Maluku pada 8 Oktober 1789. "Minahasa" dalam laporan itu diartikan sebagai Landraad atau "Dewan Negeri" (Dewan Negara) atau juga "Dewan Daerah".

Nama Minaesa pertama kali muncul pada perkumpulan para "Tonaas" di Watu Pinawetengan (Batu Pinabetengan). Nama Minahasa yang dipopulerkan oleh orang Belanda pertama kali muncul dalam laporan Residen J.D. Schierstein, tanggal 8 Oktober 1789, yaitu tentang perdamaian yang telah dilakukan oleh kelompok sub-etnik Bantik dan Tombulu (Tateli), peristiwa tersebut dikenang sebagai "Perang Tateli". Adapun suku Minahasa terdiri dari berbagai anak suku atau Pakasaan yang artinya kesatuan: Tonsea (meliputi Kabupaten Minahasa Utara, Kota Bitung, dan wilayah Tonsea Lama di Tondano), anak suku Toulour (meliputi Tondano, Kakas, Remboken, Eris, Lembean Timur dan Kombi), anak suku Tontemboan (meliputi Kabupaten Minahasa Selatan, dan sebagian Kabupaten Minahasa), anak suku Tombulu (meliputi Kota Tomohon, sebagian Kabupaten Minahasa, dan Kota Manado), anak suku Tonsawang (meliputi Tombatu dan Touluaan), anak suku Ponosakan (meliputi Belang), dan Pasan (meliputi Ratahan). Satu-satunya anak suku yang mempunyai wilayah yang tersebar adalah anak suku Bantik yang mendiami negeri Maras, Molas, Bailang, Talawaan Bantik, Bengkol, Buha, Singkil, Malalayang (Minanga), Kalasey, Tanamon dan Somoit (tersebar di perkampungan pantai utara dan barat Sulawesi Utara). Masing-masing anak suku mempunyai bahasa, kosa kata dan dialek yang berbeda-beda namun satu dengan yang lain dapat memahami arti kosa kata tertentu misalnya kata kawanua yang artinya sama asal kampung.

Asal Mula Orang Minahasa

Daerah Minahasa dari Sulawesi Utara diperkirakan telah pertama kali dihuni oleh manusia dalam ribuan tahun SM an ketiga dan kedua. [6] orang Austronesia awalnya dihuni China selatan sebelum pindah dan menjajah daerah di Taiwan, Filipina utara, Filipina selatan, dan ke Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. [7]
Menurut mitologi Minahasa di Minahasa adalah keturunan Toar Lumimuut dan. Awalnya, keturunan Toar Lumimuut-dibagi menjadi 3 kelompok: Makatelu-pitu (tiga kali tujuh), Makaru-siuw (dua kali sembilan) dan Pasiowan-Telu (sembilan kali tiga). Mereka dikalikan dengan cepat. Tapi segera ada perselisihan antara orang-orang. Tona'as pemimpin mereka bernama kemudian memutuskan untuk bertemu dan berbicara tentang hal ini. Mereka bertemu di Awuan (utara bukit Tonderukan saat ini). Pertemuan itu disebut Pinawetengan u-nuwu (membagi bahasa) atau Pinawetengan um-posan (membagi ritual). Pada pertemuan bahwa keturunan dibagi menjadi tiga kelompok bernama Tonsea, Tombulu, Tontemboan dan sesuai dengan kelompok yang disebutkan di atas. Di tempat di mana pertemuan ini berlangsung batu peringatan yang disebut Watu Pinabetengan (Batu Membagi) kemudian dibangun. Ini adalah tujuan wisata favorit.
Kelompok-kelompok Tonsea, Tombulu, Tontemboan dan kemudian mendirikan wilayah utama mereka yang berada Maiesu, Niaranan, dan Tumaratas masing-masing. Segera beberapa desa didirikan di luar wilayah. Desa-desa baru kemudian menjadi pusat berkuasa dari sekelompok desa disebut Puak, kemudian walak, sebanding dengan kabupaten masa kini.
Selanjutnya kelompok baru orang tiba di semenanjung Pulisan. Karena berbagai konflik di daerah ini, mereka kemudian pindah ke pedalaman dan mendirikan desa-desa sekitar danau besar. Orang-orang ini karena itu disebut Tondano, Toudano atau Toulour (artinya orang air). Danau ini adalah danau Tondano sekarang. Minahasa Warriors.
Tahun-tahun berikutnya, kelompok lebih datang ke Minahasa. Ada: orang dari pulau Maju dan Tidore yang mendarat di Atep. Orang-orang ini merupakan nenek moyang dari Tonsawang subethnic. orang dari Tomori Bay. Ini merupakan nenek moyang dari subethnic Pasam-Bangko (Ratahan Dan pasan) orang dari Bolaang Mangondow yang merupakan nenek moyang Ponosakan (Belang). orang-orang dari kepulauan Bacan dan Sangi, yang kemudian menduduki Lembeh, Talisei Island, Manado Tua, Bunaken dan Mantehage. Ini adalah Bobentehu subethnic (Bajo). Mereka mendarat di tempat yang sekarang disebut Sindulang. Mereka kemudian mendirikan sebuah kerajaan yang disebut Manado yang berakhir pada 1670 dan menjadi walak Manado. orang dari Toli-toli, yang pada awal abad 18 mendarat pertama di Panimburan dan kemudian pergi ke Bolaang Mangondow- dan akhirnya ke tempat Malalayang sekarang berada. Orang-orang ini merupakan nenek moyang dari Bantik subethnic.
Ini adalah sembilan sub-etnis di Minahasa, yang menjelaskan jumlah 9 di Manguni Maka-9:
Tonsea, Tombulu, Tontemboan, Tondano, Tonsawang, Ratahan pasan (Bentenan), Ponosakan, Babontehu, Bantik.
Delapan dari kelompok-kelompok etnis juga kelompok-kelompok linguistik terpisah.
Nama Minahasa itu sendiri muncul pada saat Minahasa berperang melawan Bolaang Mangondow. Di antara para pahlawan Minahasa dalam perang melawan Mangondow Bolaang adalah: Porong, Wenas, Dumanaw dan Lengkong (dalam perang dekat desa Lilang), Gerungan, Korengkeng, Walalangi (dekat Panasen, Tondano), Wungkar, Sayow, Lumi, dan Worotikan (dalam perang bersama Amurang Bay). Dalam peperangan sebelumnya, Tarumetor (Opo Retor) dari Remboken mengalahkan Ramokian dari Bolaang Mongondow di Mangket.

Sunday 16 June 2013

Asal-usul Kata Kawanua



Arti Kata Kawanua
(Cerita Taranak dan Walak Minahasa)

Dalam bahasa Minahasa Kawanua sering di artikan sebagai penduduk negeri atau wanua-wanua yang bersatu atau "Mina-Esa" (Orang Minahasa). Kata Kawanua telah diyakini berasal dari kata Wanua. Karena kata Wanua dalam bahasa Melayu Tua (Proto Melayu), diartikan sebagai wilayah pemukiman. Mungkin karena beberapa ribu tahun yang lalu, bangsa Melayu tua telah tersebar di seluruh wilayah Asia Tenggara hingga ke kepulauan pasifik. Setelah mengalami perkembangan sejarah yang cukup panjang, maka pengertian kata Wanua juga mengalami perkembangan. Tadinya kata Wanua diartikan sebagai wilayah pemukiman, kini berkembang menjadi desa, negeri bahkan dapat diartikan sebagai negara. Sementara dalam bahasa Minahasa, kata Wanua diartikan sebagai negeri atau desa.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa istilah Wanua - yang diartikan sebagai tempat pemukiman - sudah digunakan sejak orang Minahasa masih merupakan satu taranak ketika berkediaman di pegunungan Wulur-Mahatus, yang kemudian mereka terbagi menjadi tiga kelompok Taranak, masing-masing:
  1. Makarua Siouw
  2. Makatelu Pitu
  3. Telu Pasiowan

Karena sistem Taranak melahirkan bentuk pemerintahan turun-temurun, maka pada abad ke-17 terjadi suatu persengketaan antara ketiga taranak tersebut. Persengketaan terjadi karena taranak Makatelu Pitu, mengikat pernikahan dengan "Makarua Siouw", sehingga leluhur Muntu-untu dan Mandey dari "Makatelu Pitu" muncul sebagai kelompok Taranak yang terkuat dan memegang pemerintahan pada seluruh Wanua - yang waktu itu terdiri dari:
  1. Tountumaratas
  2. Tountewu
  3. Toumbuluk

Dengan bertambahnya penduduk Minahasa, maka Tountumaratas berkembang menjadi Tounkimbut dan Toumpakewa. Untuk menyatakan kedua kelompok itu satu asal, maka dilahirkan suatu istilah Pakasa’an yang berasal dari kata Esa. Pakasa’an berarti satu yakni, Toungkimbut di pegunungan dan Toumpakewa di dekat pantai. Lalu istilah Walak dimunculkan kembali. Perkembangan selanjutnya nama walak-walak tua di wilayah Tountemboan berganti nama menjadi walak Kawangkoan Tombasian, Rumo’ong dan Sonder.
Kemudian kelompok masyarakat Tountewo membelah menjadi dua kelompok yakni:
  1. Tounsea and
  2. Toundano.

Menurut Drs. Corneles Manoppo, masyarakat Toundano terbelah lagi menjadi dua yakni:
  1. Masyarakat yang bermukim di sekitar danau Tondano dan
  2. Masyarakat "Toundanau" yang bermukim di wilayah Ratahan dan Tombatu

Masyarakat di sekitar Danau Tondano membentuk tiga walak yakni;
  1. Tondano Touliang,
  2. Tondano Toulimambot and
  3. Kakas-Remboken

Dengan hilangnya istilah Pakasaan Tountewo maka lahirlah istilah Pakasa’an Tonsea dan Pakasa’an Tondano.
Pakasa’an Tonsea terdiri dari tiga walak yakni Maumbi, Kema dan Likupang. Abad 18 Tounsea hanya mengenal satu hukum besar (Mayor) atau "Hukum Mayor", wilayah Maumbi, Likupang dan Kema di perintah oleh Hukum kedua, sedangkan Tondano memiliki banyak mayor-mayor.

Masyarakat Tombuluk sejak jaman Watu Pinawetengan abad ke-7 tetap utuh satu Pakasa’an yang terdiri dari tiga walak yakni, Tombariri, Tomohon dan Sarongsong. Dengan demikian istilah Wanua berkembang menjadi dua pengertian yaitu:
  1. Ro’ong atau negeri,
  2. Pengertian sempit, artinya Negeri yang sama dengan Ro’ong (desa atau kampung)
Jadi, kata Wanua, memiliki dua unsur yaitu:
  1. Ro’ong atau negeri
  2. Taranak atau penduduk
Ro’ong itu sendiri memiliki unsur:
  1. Wale, artinya rumah dan
  2. Tana. Kata Tana dalam bahasa Minahasa punya arti luas yaitu mencakup Talun (hutan), dan Uma (kebun atau kobong)

Kobong terbagi menjadi dua yaitu : "kobong kering" dan "kobong pece" (sawah). Kalau kita amati penggunaan kata Wanua dalam bahasa Minahasa misalnya ada dua orang yang bertempat tinggal di desa yang sama kemudian bertemu di hutan.
Si A bertanya pada si B:"Mange wisa" (mau kemana ?)
Kemudian B menjawab: "Mange witi uma" (pergi ke kobong),
si B balik bertanya pada si A:"Niko mange wisa" (kamu hendak kemana ?)
si A menjawab: "Mange witi Wanua" (mau ke negeri, maksudnya ke kampung dimana ada rumah-rumah penduduk).
Contoh lain adalah kata "Mina - Wanua". Kata " Mina" artinya, pernah ada tapi sekarang sudah tidak ada. Maksudnya, tempo dulu di tempat itu ada negeri dan sekarang sudah tidak ada lagi (negeri lama) karena negeri itu telah berpindah ke tempat lain. Kata "Mina Amak " (Amak = Bapak) adalah sebutan pada seseorang lelaki dewasa yang dahulu ada tapi sekarang sudah tidak ada, karena meninggal.

Kata Wanua yang punya pengertian luas dapat kita lihat pada kalimat "Rondoren um Wanua...". Kata Wanua dalam kalimat ini artinya; Negeri-negeri di Minahasa dan tidak berarti hanya satu negeri saja. Maksudnya... melakukan pembangunan di seluruh Minahasa. Jadi sudah termassuk negeri-negeri dari walak-walak dan pakasa’an yang didiami seluruh etnis atau sub-etnis Minahasa.

Jadi dapat dilihat bahwa pengertian utama dari kata Wanua lebih mengarah pada pengertian sebagai wilayah adat dari Pakasa’an (kesatuan sub-etnis) yang sekarang terdiri dari kelompok masyarakat yang mengaku turunan leluhur Toar & Lumimu’ut. Turunan dalam arti luas termasuk melalui perkawinan dengan orang luar, Spanyol, Belanda, Ambon, Gorontalo, Jawa, Sumatera dan sebagainya.

Orang Minahasa boleh mendirikan Wanua diluar Minahasa, tapi orang Tombulu tidak boleh mendirikan negeri Tombulu di wilayah Totemboan atau sebaliknya. Inilah yang dimaksud dengan adat kebiasaan. Meletakkan "Watu I Pe-ro’ong" atau batu rumah menjadi negeri yang baru dilakukan oleh Tona’as khusus, misalnya, bergelar Mamanua (Ma’Wanua = Pediri Negeri) yang tau batas-batas wilayah antara walak yang satu dengan walak yang lain, jangan sampai salah tempat hingga terjadi perang antara walak.

Setelah meneliti arti kata Wanua dari berbagai segi, kita teliti arti awalah Ka pada kata Kawanua. Beberapa awalan pada kata Ka-rete (rete=dekat) berdekatan rumah, artinya teman tetangga. Ka-Le’os (Le’os=baik), teman berbaik-baikan (kekasih). Kemudian kata Ka-Leong (leong=bermain) teman bermain.

Dari ketiga contoh diatas, dapat diprediksi bahwa awalan Ka memberi arti teman, jadi, Ka-wanua dapat diartikan sebagai Teman Satu Negeri, Satu Ro’ong, satu kampung. Untuk lebih jelasnya kita ambil contoh melalui syair lagu "Marambak" (naik rumah baru)... "Watu tinuliran umbale Mal’lesok ungkoro’ ne Kawanua..." artinya batu tempat mendirikan tiang rumah baru, bersimbolisasi menepis niat jahat dan dengki dari teman satu negeri. Misalnya, batu rumah baru itu di Tombulu bersimbol menjauhkan dengki sesama warga Tombulu satu kampung, dan tidak ditujukan pada kampung atau walak lain misalnya Tondano dan Tonsea.

Demikian juga cerita tua-tua Minahasa dinamakan "sisi’sile ne tou Mahasa" (buku A.L Waworuntu) dan "A’asaren Ne Tou Manhesa" artinya cerita-cerita orang Minahasa. Tidak ditulis "A’asaren ne Kawanua" atau cerita orang Kawanua. Disini terlihat bahwa orang Minahasa di Minahasa tidak menamakan dirinya Kawanua. Orang Minahasa di Minahasa menamakan dirinya "Orang Minahasa" dan bukan "Orang Kawanua" selanjutnya baru diterangkan asal sub-etnisnya seperti, Tondano, Tontemboan, Tombatu dan sebagainya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa istilah Kawanua dilahirkan oleh masyarakat orang Minahasa di luar Minahasa sebagai sebutan identitas bahwa seseorang itu berasal dari Minahasa, dalam lingkungan pergaulan mereka di masyarakat yang bukan orang Minahasa, misalnya di Makasar, Balikpapan, Surabaya, Jakarta, Padang, Aceh.

Orang Minahasa yang sudah beberapa generasi berada di luar Minahasa menggunakan istilah Kawanua untuk mendekatkan diri dengan daerah asal, dan walaupun sudah kawin-mawin antara suku, masih merasa dekat dengan Wanua lalu melahirkan Jawanua, Bataknua, Sundanua, dan lain sebagainya.

Asal-usul Minahasa

Asal Usul Minahasa

Minahasa berasal dari kata MINAESA yang berarti persatuan, yang mana zaman dahulu Minahasa dikenal dengan nama MALESUNG.
Menurut penyelidikan dari Wilken dan Graafland bahwa pemukiman nenek moyang orang Minahasa dahulunya di sekitar pegununggan Wulur Mahatus, kemudian berkembang dan berpindah ke Mieutakan (daerah sekitar tompaso baru saat ini).
Orang minahasa yang dikenal dengan keturunan Toar Lumimuut pada waktu itu dibagi dalam 3 (tiga) golongan yaitu :
  •     Makarua Siow : para pengatur Ibadah dan Adat
  •     Makatelu Pitu : yang mengatur pemerintahan
  •     Pasiowan Telu : Rakyat
Berdasarkan penyelidikan Dr. J.P.G. Riedel, sekitar tahun 670 di Minahasa telah terjadi suatu musyawarah di watu Pinawetengan yang dimaksud untuk menegakkan adat istiadat serta pembagian wilayah Minahasa. Pembagian wilayah minahasa tersebut dibagi dalam beberapa anak suku, yaitu:
  •     Anak suku Tontewoh (Tonsea) : wilayahnya ke timur laut
  •     Anak suku Tombulu : wilayahnya menuju utara
  •     Anak suku Toulour : menuju timur (atep)
  •     Anak suku Tompekawa : ke barat laut, menempati sebelah timur tombasian besar
Pada saat itu  belum semua daratan minahasa ditempati, baru sampai di garisan Sungai Ranoyapo, Gunung Soputan, Gunung Kawatak, Sungai Rumbia. nanti setelah permulaan  abad XV dengan semakin berkembangnya keturunan Toar Lumimuut, dan terjadinya perang dengan Bolaang Mongondow, maka penyebaran penduduk makin meluas keseluruh daerah minahasa. hal ini sejalan dengan perkembangan anak suku sepert anak suku Tonsea, Tombulu, Toulour, Tountemboan, Tonsawang, Ponosakan dan bantik.
Di Minahasa sejak dahulu tidak mengenal adanya pemerintahan yang diperintah oleh raja. Yang ada adalah:
  • Walian :Pemimpin agama / adat serta dukun
  • Tonaas : Orang keras, yang ahli dibidang pertanian, kewanuaan, mereka yang dipilih menjadi kepala walak
  • Teterusan : Panglima perang
  • Potuasan : Penasehat
Dengan lembaran Negara  Nomor 64 Tahun 1919, minahasa di jadikan daerah otonom. Pada saat itu minahasa terbagi dalam 16 distrik : distrik tonsea, manado, bantik, maumbi, tondano, touliang, tomohon, sarongsong, tombariri, sonder, kawangkoan, rumoong, tombasian, pineleng, tonsawang, dan tompaso. Tahun 1925, 16 distrik tersebut dirubah menjadi 6 distrik yaitu distrik manado, tonsea, tomohon, kawangkoan, ratahan, dan amurang.
Sejalan dengan perkembangan otonomi maka tahun 1919, kota Manado yang berada di tanah Minahasa, diberikan pula otonom menjadi Wilayah Kota manado. Kemudian karena kemajuan yang semakin cepat, maka status kecamatan Bitung, berdasarkan Peraturan pemerintah nomor 4 Yahun 1975 Tanggal 10 April 1975 telah ditetapkan menjadi Kota Administratif Bitung, dan selanjutnya pada tahun 1982 ditetapkan menjadi Kota Bitung.
Dalam rangka untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna dalam rentang kendali penyelenggaraan tugas pemerintahan, pelaksanaan pembangunan serta pembinaan dan pelayanan masyarakat usulan pembentukan kabupaten Minahasa Selatan dan Kota Tomohon diproses bersama-sama dengan 25 calon Kabupaten/Kota diseluruh Indonesia, dan setelah melalui proses persetujuan DPR-RI, maka Kabupaten Minahasa Selatan dan Kota Tomohon ditetapkan menjadi Kabupaten dan Kota Otonom di Indonesia melalui UU Nomor 10 tahun 2003 tertanggal 25 Pebruari 2003. Pada tanggal 21 Nopember 2003 dengan UU Nomor 33 Tahun 2003 , Kabupaten Minahasa Utara ditetapkan  menjadi daerah otonom yang baru. Kab. Minahasa Selatan pada tanggal 23 Mei 2007 juga telah memekarkan Kabupaten Minahasa Tenggara.
Dengan adanya Pemekaran tersebut maka wilayah Minahasa menjadi 4 (empat) Kabupaten (Kabupaten Minahasa, Minahasa Selatan, Minahasa Utara, Minahasa Tenggara) dan 3 (tiga) Kota (Kota Manado, Bitung dan Tomohon).

Asal-usul Suku Minahasa

Sejarah Asal Usul Suku Minahasa- Daerah Minahasa di Sulawesi Utara diperkirakan pertama kali telah dihuni oleh manusia sejak ribuan tahun sebelum Masehi. Para peneliti memperkirakan suku bangsa Minahasa berasal dari Formosa Taiwan, keturunan suku bangsa Austronesia dari Formosa Taiwan, yang melakukan perjalanan panjang melalui Filipina dan terus ke Sulawesi. Banyak terdapat kemiripan bahasa dari bahasa Minahasa dengan bahasa-bahasa di Formosa Taiwan.
Sejarah Asal Usul Suku Minahasa
Sejarah Asal Usul Suku Minahasa
Menurut pendapat Tandean, seorang ahli bahasa dan huruf Tionghoa Kuno, 1997, melakukan penelitian pada Watu Pinawetengan. Melalui tulisan “Min Nan Tou” yang terdapat di batu itu, ia mengungkapkan, tou Minahasa diperkirakan merupakan keturunan Raja Ming yang berasal dari tanah Mongolia, yang datang berimigrasi ke Minahasa. Arti dari Min Nan Tou adalah “orang turunan Raja Ming". Tapi pendapat tersebut dianggap lemah menurut David DS Lumoindong, karena kalau Minahasa memang berasal dari keturunan Raja Ming, maka ilmu pengetahuan dan kebudayaan Kerajaan Ming yang sudah pada taraf maju seharusnya terlihat pada Peninggalan Arsitektur Minahasa ditahun 1200-1400, tetapi kenyataannya peninggalan atau kebudayaan zaman Ming tidak ada satupun di Minahasa, jadi pendapat Tandean lemah untuk digunakan sebagai dasar dalam penulisan Sejarah Asal Usul Suku Minahasa. Sedangkan berdasarkan pendapat para ahli A.L.C Baekman dan M.B Van Der Jack, orang Minahasa berasal dari ras Mongolscheplooi yang sama dengan pertalian Jepang dan Mongol ialah memiki lipit Mongoloid dan kesamaan warna kulit, yaitu kuning langsat. Persamaan dengan Mongol dalam sistem kepercayaan dapat dilihat pada agama asli Minahasa Shamanisme sama seperti Mongol.

Dan juga dipimpin oleh walian (semacam pendeta/pemimpin agama) yang langsung dimasuki oleh opo. Agama Shamanisme ini memang dipegang teguh secara turun temurun oleh suku Mongol dan terlihat juga kemiripan dengan agama asli suku Dayak di Kalimantan, dan Korea.

Berdasarkan pendapat para ahli diantaranya A.L.C Baekman dan M.B Van Der Jack yaitu berasal dari ras Mongolscheplooi yang sama dengan pertalian Jepang dan Mongol ialah memiki lipit Mongolia. Memang bangsa mongol terkenal dengan dengan gaya hidup berperang dengan menguasai 1/2 dunia saat dipimpin oleh Genghis Khan, dan bangsa Mongol menyebar tidak terkecuali pergi ke Manado. Persamaan dengan Mongol dalam sistem kepercayaan dapat dilihat pada agama asli Minahasa Shamanisme sama seperti Mongol. Dan juga dipimpin oleh Walian yang langsung dimasuki oleh opo. Agama Shamanisme ini memang dipegang teguh secara turun temurun oleh suku Mongol. Dapat dilihat juga di Kalimantan Dayak, dan Korea

Jadi orang Minahasa memang berasal dari keturunan ras Mongoloid, tetapi bukan orang Mongol. Ras ini juga terdapat pada suku Dayak, Nias dan Mentawai. Ras Mongoloid tersebut diperkirakan berasal dari Formosa Taiwan. Namun memang orang Minahasa sudah tidak murni dari Mongol saja, namun sudah campuran Spanyol, Portugis, dan Belanda yang diketahui keturunan Yahudi, namun lebih dipengaruhi oleh Kristen. Sebenarnya aslinya Suku Minahasa dari Mongol yang terkenal dengan kehebatan perang, dan Yahudi yang terkenal dengan kecerdasannya. Memang Belanda sebagi Yahudi yang masuk ke Indonesia hanya mendirikan 1 tempat ibadah di Indonesia silahkan lihat Sinagog di Tondano.

Seperti kita tahu Manado dalam prosesnya oleh Indonesia dibilang bangsa asing karena sangat dimanja oleh Belanda dan Sekutu. Serta sangat berbeda dengan ciri orang Indonesia pada umumnya.

Suku Minahasa terbagi atas sembilan subsuku yaitu: 1.Babontehu, 2.Bantik, 3.Pasan Ratahan (Tounpakewa), 4.Ponosakan, 5.Tonsea, 6.Tontemboan, 7.Toulour, 8.Tonsawang, 9.Tombulu

Nama Minahasa mengandung suatu kesepakatan mulia dari para leluhur melalui musyarawarah dengan ikrar bahwa segenap tou Minahasa dan keturunannya akan selalu seia sekata dalam semangat budaya Sitou Timou Tumou Tou. Dengan kata lain tou Minahasa akan tetap bersatu (maesa) dimanapun ia berada dengan dilandasi sifat maesa-esaan (saling bersatu, seia sekata), maleo-leosan (saling mengasihi dan menyayangi), magenang-genangan (saling mengingat), malinga-lingaan (saling mendengar), masawang-sawangan (saling menolong) dan matombo-tomboloan (saling menopang). Inilah landasan satu kesatuan tou Minahasa yang kesemuanya bersumber dari nilai-nilai tradisi budaya asli Minahasa (Richard Leirissa, Manusia Minahasa, 1995).

Jadi walaupun orang Minahasa ada di mana saja pada akhirnya akan kembali dan bersatu, waktu itu akan terjadi pada akhir jaman, yang tidak seorangpun yang tahu. Seperti Opo Karema pernah kasih amanat “Keturunan kalian akan hidup terpisah oleh gunung dan hutan rimba. Namun, akan tetap ada kemauan untuk bersatu dan berjaya.

Pada tahun masehi kira-kira awal abad 6, orang Minahasa telah membangun Pemerintahan Kerajaan di Sulawesi Utara yang berkembang menjadi kerajaan besar. Kerajaan ini memiliki pengaruh yang luas ke luar Sulawesi hingga ke Maluku. Pada sekitar tahun 670, para pemimpin dari suku-suku yang berbeda, dengan bahasa-bahasa yang berbeda, bertemu di sebuah batu yang dikenal sebagai Watu Pinawetengan. Di sana mereka mendirikan sebuah komunitas negara merdeka, yang membentuk satu unit dan tetap bersatu untuk melawan setiap musuh dari luar jika mereka diserang. Bagian anak suku Minahasa yang mengembangkan pemerintahannya sehingga memiliki pengaruh luas adalah anak suku Tonsea pada abad 13, yang pengaruhnya sampai ke Bolaang Mongondow dan daerah lainnya. Kemudian keturunan campuran anak suku Pasan Ponosakan dan Tombulu membangun pemerintahan kerajaan yang terpisah dari ke empat suku lainnya di Minahasa.